Istri Pemain Kartu

By Lucy Sunday, September 1, 2019
“Apa maksud elu?” aku bertanya balik kepada Rony. Waktu itu kami sedang bermain kartu di rumahku (seperti yang biasa kami lakukan beberapa kali dalam setahun) saat Rony menuduh aku sedang mencoba memamerkan istriku, Lisa. Memang benar aku bangga akan penampilan istriku. Dan memang aku menyuruhnya untuk mengenakan pakaian yang menarik lantaran beberapa teman akan datang berkunjung. Namun Rony mengintepretasikan semua itu dengan berlebihan. Menurutku sendiri, lebih baik Lisa tidak ada di rumah sama sekali karena malam ini seharusnya malam khusus para pria. Akan tetapi Lisa benar-benar tidak dapat pergi kemana-mana lagi jadi aku menyuruhnya untuk tetap tinggal dan menyiapkan makanan untuk kami.

“Ayolah, ngaku saja, Bud. Apa dia selalu memakai rok pendek seperti itu di dalam rumah malam-malam begini?” tanya Rony setelah Lisa kembali ke dapur untuk mengambil minuman. “Yah, engga juga. Begini deh, berapa kali elu-elu datang ke rumah gue? Setiap kali gue ada tamu, gue mau semuanya terlihat baik. Kalau begitu kenapa elu enggak tuduh gue memamerkan lantai rumah gue yang mengkilap?”

“Jangan bohong deh, Bud! Tiap kali kita datang ke mari pasti dia ada di rumah, dan lagi pakaiannya selalu seperti begitu!” Mario menambahkan. “Malah gue rasa kali ini dia enggak pakai BH. Bagaimana elu bisa bilang itu ga pamer?”

Saat Lisa masuk kembali ke ruangan akhirnya mereka berhenti merongrongku. Ia baru saja hendak kembali ke dapur untuk menonton TV di sana ketika Rony mengajaknya untuk ikut bermain bersama kami. “Lagipula kamu ada di sini, jadi sekalian saja main bersama kami?” ajaknya. “Tapi kamu harus pakai uang kamu sendiri, engga boleh bergabung dengan suamimu!” tambah Mario.

Lisa melihat ke arahku untuk meminta persetujuan dan aku hanya mengangkat kedua bahuku. Lisa selalu begitu, mengecek terlebih dahulu dengan keputusanku. Terkadang ia dicemooh dengan melakukan semua yang kukatakan, tapi aku sungguh menghargai sikap kesetiaan para istri pada jaman dulu. Itu salah satu alasan aku menikahinya.

Ia duduk dan mulai bermain bersama kami. Sebenarnya aku tidak keberatan istriku bermain bersama kami tapi aku masih ingin membahas oborlan laki-laki bersama teman-temanku ini. Rony seharusnya bercerita tentang Maria sepupunya. Dia adalah satu-satunya selingkuhanku. Aku melakukan One Night Stand dengannya sekitar seminggu yang lalu ketika kami semua pergi ke klab malam dan saat itu aku mabuk berat. Pernikahanku bisa hancur kalau Lisa tahu tentang perselingkuhanku jadi aku belum menghubungi Maria sejak saat itu.

Kami bermain sekitar satu jam ketika Lisa pergi ke dapur setelah kusuruh mengambilkan minuman lagi. “Pasti enak yah punya robot yang mengerjakan apa yang elu bilang,” kata Ron. “Pakai ini, ambil itu, lakukan ini,” tambah Mario. Ini cemoohan yang biasa Lisa dan aku terima. “Ayolah, brur. Elu-elu cuma iri. Siapa sih yang enggak mau perempuan seperti itu?” aku balik bertanya.

“Elu bener, Bud. Gue juga mau punya istri yang mengerjakan apa yang gue suruh,” jawab Rony. “Gue juga mau. Mana remote controlnya? Boleh ga gue yang kontrol untuk puteran berikutnya?” tanya Karel.

Aku masih menunggu Lisa kembali ke ruangan ketika Mario (yang sudah mabuk) berkata, “Hey bagaimana kalau pemenang dalam satu putaran berhak memegang remote control ini dan bisa mengontrol dia. Gue bakal pencet tombol ‘mute’ supaya dia enggak usah banyak omong, hahaha…”

“Dia bukan robot. Dia engga melakukan semua yang gue suruh kok!” terusik oleh tuduhan itu aku mulai menaikkan suaraku.

Rony kemudian berkata, “Kalau begitu, kita coba saja?”

Mereka benar-benar gila. “Coba apanya?” tanyaku. “Pemenang dalam satu putaran dapat mengontrol dia? Elu-elu gila! Dia enggak akan pernah menuruti perintah elu-elu dan lagipula gue enggak bakalan menyuruhnya untuk ikut bermain permainan edan seperti ini. Lupakan saja!”

“Jadi kalau elu bilang ke dia bahwa si pemenang boleh mengontrol dirinya, seperti yang setiap hari elu lakukan terhadap dia, istri elu enggak bakal menurut? Ha? Lisa itu engga punya pendirian sendiri deh dan pasti dia menurut,” kata Rony.

Aku jadi tambah panas. “Dia melakukan apa yang gue bilang karena dia cinta gue, bukan karena dia enggak punya pendiriannya sendiri. Dia enggak bakal melakukan apa yang elu bilang tadi.” Ini mulai menjadi tidak karuan dan aku hendak menyudahi malam itu.

Ron berdiri untuk melihat apakah Lisa masih berada di dapur lalu berbungkuk ke tengah-tengah kami lalu berkata, “Suruh saja dia untuk melakukannya dan kita lihat apa benar dia itu robot atau bukan. Elu bisa buktikan saat itu juga. Bagaimana?”

“Enggak! Elu sama gilanya seperti si Mario. Jangan takabur deh!” teriakku.

Karel lalu berkata, “Lalu apa yang elu khawatirkan? Elu khawatir kalau dia akan menuruti perintah kita-kita? Lagipula elu kan tahu kalau dia cinta elu dan enggak bakalan menuruti kita-kita karena dia punya pendiriannya sendiri. Kita lihat saja.”

Lisa berseru dari dapur bahwa ia akan segera keluar membawa minuman. “Bud, elu cuma perlu minta sama dia untuk melakukan ini semua dan biar dia yang menentukan berikutnya. Atau elu mau gue ungkit-ungkit kejadian elu dan Maria?”

Sebelum aku dapat memberi jawaban Lisa masuk dan membagikan minuman lalu duduk. Rony menatapku seakan menunggu jawaban dariku. Aku membalas dengan pandangan tak senang untuk menunjukkan bahwa aku tidak akan melakukannya. Kami melanjutkan permainan kartu kami.

“Oh iya, Bud, kemarin gue ngobrol-ngobrol sama sepupu gue Maria,” Rony memulai percakapan.

Aku tidak menyangka Rony menyebut nama Maria saat itu dan dia benar-benar serius. Ini bisa menghancurkan pernikahanku jadi aku harus melakukan sesuatu. Akhirnya aku menyerah dan menginterupsi, “Permainan ini jadi membosankan nih. Mungkin kita perlu melakukan hal-hal konyol supaya jadi menyenangkan.”

“Hal konyol seperti bagaimana?” Karel seakan mengejekku.

“Lisa, bagaimana kalau elu berhenti main dan cuma menemani kita-kita saja? Toh uang elu juga sudah hampir habis,” kataku.

“Ok, aku sudah capek juga lagipula,” katanya menyetujui.

“Tapi untuk membuat taruhannya jadi menarik, elu harus menemani pemenang selama satu putaran,” tambahku menjelaskan.

“Boleh, terserah saja,” jawab Lisa.

Rony melafalkan nama Maria dengan mulutnya tanpa bersuara kepadaku sehingga aku dengan enggan melanjutkan, “Jadi elu harus menuruti perintah siapa pun pemenang di putaran itu, Lisa.”

“Jadi kalau kamu tidak menang, berarti tidak ada yang mengambili minuman untukmu lagi,” Lisa bercanda.

Ron lalu pura-pura bertanya, “Jadi kalau gue menang, dia harus menuruti perintah gue seperti dia menurut perintah elu?”

“Iya!” jawabku.

“Hanya untuk satu putaran,” tambah Karel. “Setelah itu pemenang putaran berikutnya yang akan memegang remote.”

Mario berpikir menggunakan remote TV sebagai simbol merupakan ide yang cemerlang lalu ia meraih remote TV dari meja dan berkata, “Siapapun yang pegang remote ini bisa mengontrol dia.”

Mendengar semua ini jelas-jelas membuat Lisa tersinggung. Ia marah. Bahkan terhadapku juga. Aku masih dapat memperbaiki ini semua tapi aku tidak dapat memperbaiki keadaan jika ia tahu tentang Maria. Oleh karena itulah aku harus berlagak seakan-akan aku menginginkan ia melakukan ini semua. “Apa bagaimana menurut elu, sayang?” tanyaku kepadanya.

Ia memandangiku menunggu isyarat bahwa aku menyetujui hal ini. Ron bersandar ke arah belakang Lisa sehingga ia tidak dapat melihatnya. Lalu ia melafalkan nama Maria tanpa bersuara dengan mulutnya sambil mengangkat kedua bahunya. Terlihat jelas ia ingin aku juga mengangkat bahuku untuk menunjukkan sikap setuju. Akhirnya aku mengangkat kedua bahuku.

“Oke, aku setuju.”


Mario menaruh remote di tengah-tengah meja tempat chip-chip taruhan diletakkan dan kami mulai permainan itu. Kami bermain beberapa set dalam satu putaran, jadi dibutuhkan waktu kurang lebih 15 menit sampai ada pemenang untuk satu putaran. Dan pemenang putaran pertama adalah Karel. Ia meraih remote itu.

Ia menyuruh Lisa mengambilkan minuman untuknya seperti yang biasa kuperintahkan kepada dia. Lisa baru saja hendak berdiri meninggalkan ruangan ketika Karel menyatakan bahwa ia hanya bercanda. Ia lebih memilih menyuruhnya duduk di samping menemaninya untuk membawa keberuntungan di set berikutnya. Lisa berdiri dan berjalan menghampiri Karel lalu berdiri di sampingnya. Menit berikutnya Karel berkata, “Kamu boleh duduk di sini, Lisa.” Ia mengeluarkan pahanya.

Lisa tidak akan melakukannya. Aku tahu ia akan segera membantah dan Rony dapat menelan semua kata-katanya tentang Lisa tidak memiliki pendiriannya sendiri. Semua ini akan segera berakhir. Lisa terus memandangiku menunggu persetujuan dariku. “Apa kamu benar-benar mau aku melakukan apa yang mereka perintahkan?”

Kemudian aku melihat Ron memberi isyarat sesuatu tentang Maria lagi dan menyuruhku untuk mengangkat kedua bahuku. Aku kembali mengangkat bahuku lalu Lisa duduk di pangkuan Karel! Kemudian Lisa berkata, “Terserah, tapi aku tidak mau membuatmu marah. Jadi kasih tahu aku jika kamu mau aku berhenti, sayang.” Coba saja ia tahu bahwa aku tidak dapat menyuruhnya untuk berhenti namun aku mempercayainya dan tidak mungkin ia terus duduk di pangkuan para pria ini hanya karena aku tidak berkeberatan.

Aku duduk memperhatikan istriku memandangiku dari seberang meja, duduk di pangkuan pria lain. Setelah beberapa set, satu putaran akhirnya berakhir. Mario kali ini keluar sebagai pemenang dan meraih remote dari tangan Karel.

“Ah, penyia-nyian saja,” katanya kepada Karel. “Ayo mana remotenya!” Ia berbalik ke istriku dan berkata, “Lisa…”

“Apa, Mario?” sahutnya.

“Hei, panggil aku sayang dong. Aku kan yang pegang remotenya, ayo,” Mario mengejek.

Lisa terdiam beberapa detik lalu berkata, “Apa, sayang?”

“Tadi sebelumnya kami menduga-duga, apakah kamu memakai BH di balik kaos itu?”

Lisa terdiam lagi sebentar sebelum akhirnya menjawab, “Tidak.”

“Berhubung kelihatannya kamu tidak suka mengenakan pakaian dalam, bagaimana kalau kamu melepaskan celana dalammu juga?” Mario berkata sambil berpura-pura menekan tombol di remote TV itu.


Lisa menatapku lagi selama beberapa detik lalu akhirnya berdiri. Dia mendesah dalam-dalam kemudian menurunkan celana dalamnya dan menanggalkannya. Selama dalam proses melepaskan celana dalam itu, Lisa menjaga dengan amat sangat hati-hati agar rok mini yang dipakainya tetap pada tempatnya sehingga menutup tubuhnya setiap saat. Setelah selesai melepaskan celana dalamnya, Lisa duduk di kursinya.

Beberapa set berikutnya putaran tersebut akan segera berakhir. “Sial, gue udah mulai kalah nih! Lisa duduk di sini seperti yang kamu lakukan ke Karel. Mungkin bisa membawa keberuntungan untuk set yang terakhir ini,” kata Mario.

Lisa berdiri dan menghampirinya. Kali ini keadaan lebih parah dari yang sebelumnya dan aku yakin Lisa dapat melihat perbedaannya. Kalau Karel masih mengenakan celana panjang, namun Mario hanya mengenakan celana pendek dan sekarang ia tidak mengenakan apa-apa di balik rok mininya itu.

Mario mengeluarkan lutut kanannya yang tidak tertutup kain celana itu untuk Lisa duduk di atasnya. Dan Lisa dengan perlahan duduk menyamping pada paha Mario. Aku benar-benar tidak habis pikir! Tidakkah ia menyadari bahwa bagian tubuh pribadinya menyentuh langsung, kulit bertemu kulit, paha temanku yang tidak terlapisi kain itu?! Dan tidakkah ia sadar kalau ini sudah keterlaluan?!