Kepala Administrasi BimBel Milik Mbak Rini

By Lucy Monday, August 5, 2019
Mbak Mita pagi itu tampak asyik bekerja di ruang administrasi. Tapi setelah menyadari kedatanganku, ia tampak tersenyum sinis. Aku heran dibuatnya. Tak seperti biasanya ia bersikap seperti itu. Aku, cowok yang sensi ini tak bisa menerima sikap seperti itu. Maka kuambil kursi dan kusimpan di depan meja Mbak Mita. Lalu duduk di situ.



"Ada apa Mbak?" tanyaku perlahan supaya tidak menarik perhatian pegawai lain.

"Gak ada apa-apa," sahutnya.

"Kirain pengen diajak makan di sebrang itu."

"Emang mau nraktir?" sorot mukanya sedikit berubah.

"Ayo. Tapi jangan ajak yang lain."

Sikapnya jadi agak cair. Lalu kami menyebrangi jalan dan masuk ke rumah makan langganan kami.

"Tadi seperti ada sesuatu, tapi Mbak gak mau ngaku, ya udah. Tadinya kupikir barangkali ada yang bisa kubantu, tentu akan kubantu sebisanya."

Mbak Mita menatapku. Lalu memandang ke jalan. Seperti ada yang mau disampaikan, tapi berat mengucapkannya.

"Ayolah, ngomong aja Mbak. Meski usiaku di bawah Mbak, aku punya instink yang lumayan tajam. Ada yang ingin Mbak sampaikan kan?" tanyaku sambil mengusap-usap tangan Mbak Mita yang terletak di atas meja makan.

"Dik Niko beneran adik Bu Rini?" tiba-tiba saja ia menanyakan sesuatu yang selama ini belum pernah kami bahas.

"Iya, aku adik sepupunya. Emang ada apa?"

"Hhh..." Mbak Mita mendengus di hidung, "Masa saudara sepupu sampai ngos-ngosan bergumul tadi pagi. Apalagi kalau malam kale....pasti lebih ngos-ngosan lagi."

Aku tersentak. Kaget sekali. Tadi pagi aku memang bergumul dengan Mbak Rini, dalam amukan birahi yang membuatku lupa daratan. Lalu kenapa Mbak Mita tau? Apakah dia ngintip tadi?

"Kata siapa Mbak?" tanyaku sambil menggenggam tangan wanita berusia 30 tahunan itu.

"Aku lihat dengan mata kepala sendiri. Tadinya aku mau ada perlu sama Bu Rini. Eeee...rupanya beliau sedang asyik-asyikan dengan adiknya..."

Wah, ini gawat. Rahasiaku dengan Mbak Rini gak boleh sampai tersiar ke mana-mana. AKu harus mencegahnya. Mencegah dengan caraku sendiri. Maka kataku, "Mbak...sejak aku kenal sama Mbak, sebenarnya aku punya perhatian khusus sama Mbak. Aku sangat tergoda sama Mbak. Tapi setelah tau Mbak sudah bersuami, terpaksa aku alihkan dengan cara yang tidak merugikan orang lain."

"Ah, masa bisa tergoda sama aku. Kan sudah punya Bu Rini."

"Harus gimana ya menjelaskannya? Tapi kalau gak percaya, ya sudah."

"Kalau Dik Niko bicara secara terbuka, pasti aku tanggapi. Tapi selama ini Dik Niko kan gak pernah ngomong apa-apa sama aku, kecuali masalah kerjaan doang."

"Di kantor kan banyak orang mulu, Mbak."

"Kan bisa ngajak ngomong di sini berduaan aja."

"Ya sekarang aku ngomong. Bisa Mbak tanggapi?"

"Takut cuma maen-maen doang."

"Harus dibuktikan? Oke...kapan kita bisa ngobrol empat mata di ruangan tertutup tanpa takut dilihat orang?"

"Di sini kan bisa ngobrol empat mata."

"Cuma bisa ngobrol doang. Megang tangan gini juga sudah kuatir diliat orang."

Mbak Mita tampak seperti memikirkan sesuatu. Entah apa yang dipikirkannya.

Sebenarnya aku sudah mendengar latar belakang Mbak Mita dari pengakuannya sendiri. Bahwa ia punya suami yang usianya 55 tahun, sementara Mbak Mita sendiri baru 30 tahun. Perkawinan dengan beda usia sejauh itu, pasti ada masalah. Tapi Mbak Mita tak pernah terang-terangan menjelaskannya.

Dari caranya tersenyum atau memandangku, aku sudah merasa bahwa sebenarnya dia suka padaku, tapi tidak berani terang-terangan mengatakannya.

Selesai makan, kami masih nongkrong di rumah makan itu.

"Hari Minggu bisa ke luar?" tanyaku.

"Bisa aja. Emang mau ngajak ke mana?"

"Ke ruangan tertutup itu. Mbak ngerti kan?"

"Iya. Bilang aja ke dalam kamar yang tertutup dan terkunci gitu."

"Nah itu maksudku Mbak. Biar Mbak tau bahwa aku suka Mbak. Suka sekali."

Tampak sikap Mbak Mita semakin cair.

Bahkan pada suatu pagi, ketika Mbak Rini pergi ke luar kota, kantor poun masih sepi, hanya Mbak Mita yang sudah datang...

Barangkali inilah saatnya untuk membungkam mulutnya agar jangan menyebarkan rahasiaku. Aku harus membungkam mulutnya dengan caraku sendiri.

Aku melangkah ke belakang kursi Mbak Mita. Dari situlah kusergap lehernya dengan pelukan dari belakang.

Terasa dia mengejut. Tapi tidak menepiskan pelukanku. Bahkan memegang tanganku dengan telapak tangan yang terasa hangat.

Gilanya, nafsuku mulai bangkit. Bukan lagi melakukan cara untuk membungkam mulut Mbak Mita. Dan kurayapkan tanganku ke balik blousenya, kupaksakan masuk juga ke balik behanya. Maaak ! Ternyata buah dada Mbak Mita bukan cuma montok tapi juga masih terasa kencang !

Dan Mbak Mita diam saja. Sehingga aku makin berani. Kuangkat badannya agar berdiri. Dan setelah berdiri berhadapan, kuciumi bibir Mbak Mita dengan lahapnya.

Terasa benar ia menyambut semuanya ini dengan kehangatan dan kepasrahannya.

Aku mendorong Mbak Mita ke ruang kerja Mbak Rini. Kebetulan Mbak Rini sedang di luar kota. Aku jadi merasa punya tempat nyaman untuk melakukan yang lebih jauh. Tapi aku hanya sempat menggerayangi pangkal pahanya. Dan sebelum berhasil menyentuh yang tersembunyi di balik celana dalam Mbak Mita, tiba-tiba kudengar bunyi langkah sepatu memasuki ruang kerja bagian administrasi itu. Terpaksa kubatalkan sambil berbisik, "Nanti kita cek in di hotel aja, biar aman."

Mbak Mita yang sudah kujinakkan cuma mengangguk sambil melangkah ke luar.

Aku pun ke luar. Menghidupkan motor inventaris bimbel. Lalu bergerak ke jalan raya.

Tak sulit mencari hotel di kota ini. Kudapatkan hotel yang berada ddi pinggir jalan kecil, bukan di jalan ramai.Hotel itu masih baru, sehingga kulihat fasilitas di dalamnya serba baru dan kebersihannya pun terjamin. Langsung kubooking satu kamar untuk besok.

Lalu kembali ke kantor yang letaknya berdampingan dengan rumah Mbak Rini. Tadinya ingin bicara dengan Mbak Mita. Tapi sudah banyak pegawai yang hadir di ruang administrasi itu. Maka seperti beberapa hari sebelumnya, kuajak Mbak Mita makan siang di rumah makan di sebrang jalan.

Di rumah makan itu aku bisa menyampaikan rencanakui. Bahwa besok, yang kebetulan hari Minggu, aku mengajaknya ketemuan di hotel yang sudah kubooking tadi.

"Jadi, besok kita jangan bareng-bareng, biar jangan heboh," kataku, "Aku nunggu di sana, pulangnya juga gak usah bareng."

"Iya, bagusnya gitu," kata Mbak Mita, "Harus rapi, karena aku kan punya suami."

Aku tersenyum. Dan teringat lagi cerita tentang rumah tangga Mbak Mitha dengan suami yang lebih tua seperempat abad itu. Bahwa orang tuanya punya hutang yang cukup besar kepada lelaki tua itu. Dan orang tua Mbak Mita merasa tak mungkin bisa membayarnya lagi, karena usahanya mengalami kebangkrutan. Lalu tercapailah kesepakatan. Bahwa hutang orang tua Mbak Mita akan dianggap lunas kalau Mbak Mita bersedia diperistri oleh lelaki tua yang sudah lama ditinggal mati istrinya itu. Terdorong dari perasaan ingin menolong orang tuanya, Mbak Mita menerima syarat itu. Bahwa ia akan menjadi lelaki tua itu akan menjadi suaminya, sementara hutang yang jumlahnya besar itu pun dianggap lunas. Lalu setelah menjadi menjadi istri lelaki itu, apakah Mbak Mita merasa puas lahir batin? Mungkin point itulah yang sebenarnya yang membuat Mbak Mita sering menyesali keputusannya sendiri. Bahwa ia tak merasa puas baik lahir maupun batin. Kebutuhan material tak bisa terpenuhi, sehingga ia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadinya. Kebutuhan batin apalagi. Suaminya makin lama makin loyo. Sehingga Mbak Mita merasa jadi wanita paling menderita di dunia ini. Namun setelah bekerja di bimbel Bu Rini, sedikitnya ia tidak terlalu bete, karena banyak teman yang bisa mengajaknya bercanda dan sebagainya.



Esok paginya, sebelum jam sepuluh aku sudah stand by di hotel itu, karena Mbak Mita berjanji akan datang sekitar jam sepuluhan.

Jam sepuluh lebih sedikit Mbak Mita sudah muncul. Dalam gaun terusan berwarna kuning muda bercorak bunga-bunga orange. Aku tertegun dibuatnya. Karena aku tak mungkin salah lihat. Mbak Mita tampak cantik sekali pagi ini. Hal itu kuucapkan secara lisan setelah berada di dalam kamar bernomor 35.

"Mbak kelihatan cantik sekali," kataklu sambil memegang keduabahu wanita yang sembilan tahun lebih tua dariku itu.

Mbak Mita cuma tersenyum, sambil menatapku dengan mata bergoyang.

Aku pun menyergapnya dengan pelukan hangat dan kecup mesra di bibir tipisnya. Lalu kuraih lengannya, kuajak duduk di sofa, "Baru sekarang kita punya kesempatan berdua di dalam kamar tertutup gini ya?"

Mbak Mita menatapku, "Dik Niko gak nyadar-nyadar sih kalau aku sejak lihat udah merasa suka."

"Mbak gak mau ngomong terang-terangan sih."

"Aku kan perempuan, Dik."

"Sudahlah, gak usah bahas yang lalu-lalu lagi. Sekarang Mbak mau diapain dulu?"

"Iiih...harusnya aku yang nanya, aku ini mau diapain sekarang?"

"Hahahaaa...Mbak Mita kalau udah balik-balikin omongan paling bisa," ucapku sambil merayapkan tangan ke lutut Mbak Mita. Merayapkan terus ke pahanya yang terasa licin dan hangat.

Diperlakukan seperti itu, Mbak Mita malah merapatkan pipinya ke pipiku. Bahkan ketika tanganku menyelinap ke balik celana dalamnya, Mbak Mita mulai mencium dan melumat bibirku. Seakan ingin melengkapi rayapan tanganku dengan sesuatu yang sangat mendukung.

"Ntar...buka dulu gaunnya ya," kata Mbak Mita ketika aku mulai asyik mempermainkan kemaluannya yang masih tersembunyi di balik celana dalamnya.

Aku mengangguk. Dan ketika Mbak Mita menanggalkan gaunnya, aku pun menanggalkan celana jeans dan baju kausku, kemudian menggantungkannya di samping gaun Mbak Mita.

Dan aku tertegun lagi setelah mengamati kemulusan tubuh Mbak Mita yang tinggal mengenakan bra dan celana dalam itu. Tubuhnya lebih bagus, lebih tinggi daripada tubuh Mbak Rini. Meski masih mengenakan bra, kulihat toket Mbak Mita lebih besar daripada Mbak Rini. Mungkin wajah Mbak Rini lebih cantik daripada Mbak Mita. Tapi kalau bicara soal bentuk tubuh dan kemulusannya, Mbak Mita menang.

"Aku makin sadar, tubuh Mbak begini mulusnya," ucapku sambil mengelus-elus paha Mbak Mita yang sudah duduk bersila di atas tempat tidur.

Mbak Mita tampak bangga, "Belum lihat toket aku ya?" cetusnya sambil melepaskan kancing behanya, lalu menanggalkannya.

Sepasang payudara montok itu tak tertutup apa-apa lagi, seolah menantangku untuk menyentuhnya. Dan dengan nakalnya Mbak Mita memegang buah dada kirinya sambil mendekatkannya ke mukaku, "Nih...mau netek? Tetekku belum pernah nyusui bayi lho."

Aku baru ingat salah satu cerita Mbak Mita, bahwa ia belum punya anak meski sudah bertahun-tahun menjadi istri lelaki tua itu.

Dengan sikap seperti anak kecil yang mau netek ke ibunya, ajku menggodanya, "Iya Mami...Iko mau nenen..."

Dan...gap aku memagut pentil payudara yang diangsurkan itu. Lalu menyedot-nyedotnya dengan lahap. Sementara tangan kananku menyelinap ke balik celana dalam Mbak Mita, karena tadi ada "action" yang belum tuntas.

Kusentuh rambut ikal pendek di balik celana dalam Mbak Mita. Dan tak sulit mencari celah mulut kemaluan wanita itu. Celah yang lalu kuelus dengan lembut. Tentu bagian terpekanya juga tak kulewatkan, bagian yang biasa kelentit...yangcuma sebesar biji kacang hijau, tapi paling penting di bagian vagina wanita (menurut ilmu seksuologi yang pernah kubaca).

Jari-jemariku memang sudah lumayan berpengalaman untuk merambah kemaluan wanita. Sehingga dalam tempo singkat saja Mbak Mita tampak sudah horny berat. Bahkan tangannya mulai menyelinap juga ke balik celana dalamku. Dan menyentuh batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini.

Seperti Mbak Rini waktu pertama kali menyentuh penisku, Mbak Mita juga memekik tertahan, "Dik Niko....! Pistolnya kok gede dan panjang gini? Emangnya Dik Niko ada turunan Arab?"

"Gak, aku asli Indonesia Mbak," sahutku, "Lagian penis Arab dibilang panjang gede itu cuma mythos, Mbak. Zaman sekarang yang panjang gede itu malah penis negro."

"Iiih.... kebayang enaknya penis sepanjang dan segede ini...pantesan Bu Rini..."

"...Jangan bahas dia terus Mbak," kataku sambil menelungkupkan tanganku ke mulut Mbak Mita, "Sekarang kan yang sedang Mbak pegang ini akan kuberikan pada Mbak..."

Dengan tangan masih memegang batang kemaluanku, Mbak Mita menciumi bibirku. Lalu menanggalkan celana dalamnya. Kini sebentuk kemaluan wanita terbentang di hadapanku. Kemaluan dengan jembut yang sudah digunting rapi, sehingga tiada yang menjulur ke mulut kemaluannya.

Tanpa basa basi lagi, kusergap kemaluan Mbak Mita dengan bibir dan lidahku, sehingga wanita itu mulai meregang kejang dan sesekali menggeliat sambil meremas-remas rambutku.

Bibir dan lidahku sudah terlatih. Dan tahu persis apa yang harus kulakukan kalau sedang main jilat begini. Aku juga pernah membaca, bahwa cowok yang memiliki penis gede, cunnilingus (menjilati kemaluan wanita) ini penting, agar pada waktu penetrasi pihak wanitanya tidak kesakitan.

Mbak Mita mulai mendesah-desah seperti kepedasan. Terkadang tangannya menggapai-gapai, meremas-remas kainseprai sambil mengeluarkan rintihan dan rengekan histeris yang erotis.

Namun ketika aku merasakan lubang vagina Mbak Mita sudah basah, cepat kutanggalkan celana dalamku, lalu mengarahkan batang kemaluanku ke mulut vagina Mbak Mita. Dengan tangkas Mbak Mita pun menangkap batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini, lalu mengarahkannya dengan cermat, agar pas berada di depan "pintu gerbang" lorong surgawinya.

Setelah terasa ngepas, kudesakkan batang kemaluanku yang...mmmmm....meski seret, masuk juga sedikit demi sedikit di lubang kemaluan Mbak Mita yang ternyata masih kecil dan sempit ini.

"Duuuh....punya Dik Niko gede banget....susah masuknya ya?" ucap Mbak Mita setengah berbisik, "Nah...udah masuk Dik...iya....iya....ooooh...ini sih kayak penis kuda....xixixixi....enak Dik...terus masukin dikit-dikit..."

Sambil kugeser-geserkan sedikit demi sedikit, akhirnya terasa puncak penisku sudah mencapai ujung lorong surgawi Mbak Mita. Maka sambil menjatuhkan diri ke dada berpayudara montok itu, aku pun mulai menggeser-geserkan batang kemaluanku, bermaju-mundur di dalam liang kemaluan Mbak Mita.

"Ooooh...Dik Niko....punya Dik Niko panjang gede gini...kayaknyai....bakal bikin aku....ketagihan..." kata Mbak Mita dengan suara tersengal.

"Sama Mbak...aku juga bakal ketagihan neh...gak nyangka, punya Mbak enak banget...." sahutku dengan gerakan penis yang semakin kugencarkan. Stttt...josss...stttt...josss....stttt...jossss...stttt...jossss....

Tak cuma gerakan penis yang kulakukan. Mulutku juga mulai merambah leher Mbak Mita, menjilati leher yang harum parfum itu....lalu menjilati puting payudaranya yang juga tercium harum parfum, sementara tanganku juga melengkapinya dengan remasan di sana sini.

"Duuuh...Dik Nikooo....enak banget Diiik....duuuuh....bener-bener enak Diiik..." cetus Mbak Mita tak terkendalikan lagi, sementara kedua tangannya menggapai-gapai ke sana sini. Terkadang meremas kain seprai di kanan kirinya, terkadang meremas sepasang bahuku, terkadang juga meremas-remas rambutku.

Dan aku semakin ganas mengenjot batang kemaluanku sampai terasa sering menubruk ujung liang kemaluan Mbak Mita. Pada waktu ujung liang kemaluannya ditubruk oleh penisku, mata Mbak Mita terbeliak...lalu terpejam pada waktu penisku kutarik mundur lagi.

Terus terang, ini persetubuhan yang paling nikmat bagiku. Sehingga ketika Mbak Mita membisikiku "Aku udah mau lepas Dik", aku pun merasa ejakulasiku sudah di ambang pintu.

"Boleh dilepas di dalam?" bisikku.

"Iya, gakpapa. Ayo kita lepasin bareng-bareng...biar enak..." kata Mbak Mita sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya dengan binalnya.

Dan aku pun semakin ganas mengenjot batang kemaluanku. Lalu kami berdua takl ubahnya sepasang manusia yang sedang kesurupan. Sama-sama menggelepar sambil saling cengkram...seakan-akan ingin saling meremukkan badan pasangan kami.

"Dik Nikoooo....." rintih Mbak Mita di puncak orgasmenya.

Disusul dengan desakan batang kemaluanku sedalam-dalamnya.....lalu aku mendengus ketika moncong penisku menembak-nembakkan air mani di dalam jepitan liang kemaluan Mbak Mita.

Oh nikmatnya, sungguh sulit kulukiskan dengan kata-kata. Tak kusangka aku akan mendapatkan kenikmatan yang luar biasa dari tubuh Mbak Mita ini. Padahal tadinya aku cuma ingin menjalankan siasat saja, ingin membungkam mulut Mbak Mita dengan caraku sendiri.

Tapi merasakan enaknya menyetubuhi Mbak Mita, aku berpikir jangan-jangan aku akan ketagihan kelak.

Dan ketika aku sudah rebah di sisi Mbak Mita, justru ia yang mengutarakannya. Mengutarakan perasaan seperti yang tengah kurasakan, "Kalau besok-besok kepengen lagi sama Dik Niko gimana caranya?"

"Ya kita ketemuan di sini lagi aja," sahutku.

Mbak Mita miring menghadap ke arahku. Mengelus dadaku sambil berucap, "Kasian ah sama Dik Niko. Ntar duitnya habis buat bayar hotel mulu."

"Gaklah. Kalau cuma seminggu sekali, aku masih sanggup bayarin hotel ini. Lagian hotel ini gak mahal-mahal amat."

Mbak Mita tersenyum. Menciumi pipiku dengan hangat. Sementara tangannya merayapi perutku, turun ke bawah...menggenggam penisku yang masih lemas. Lalu terasa penisku diremas-remas dengan lembut. Sehingga tombak pusakaku ini mulai membesar dan menegang. Makin lama makin tegang, sehingga akhirnya "siap tempur" lagi.

Mbak Mita tampak senang. Mungkin hal seperti ini takkan didapat dari suaminya yang sudah renta itu. Dan penuh semangat ia memasukkan batang kemaluanku ke liang vaginanya sambil meletakkan kedua lututnya di kanan kiri pinggulku. Lalu ia action dalam posisi WOT.

Rumah Mbak Rini yang berdampingan dengan kantor bimbel itu, seakan menjadi surga bagiku. Karena aku tak hanya mendapatkan kehangatan dari tubuh Mbak Rini, melainkan juga dari kepala bagian administrasi yang biasa kupanggil Mbak Mita itu.

Tapi pada suatu malam, ketika rumah Mbak Rini sudah sunyi, karena pegawai-pegawai tata usaha di sebelah sudah pada pulang, Mbak Rini menghampiriku di saat aku sedang nonton televisi di ruang tengah.

"Nggak ke luar, Nik?" tanya Mbak Rini sambil duduk di sampingku. Harum parfum Mbak Rini langsung tersiar ke penciumanku.

"Nggak Mbak."

"Ada yang mau kuomongin...suatu hal yang penting banget, Nik."

Aku menatap Mbak Rini dengan perasaan kuatir. Takut kalau ia sudah tahu hubungan rahasiaku dengan Mbak Mita, lalu ia akan mendakwaku.

"Niko mau kujodohin sama adikku? Besok pagi dia berangkat dari Malang menuju ke sini. Mungkin besok malam dia sudah tiba di sini."

"Kok....??" aku ingin mengucapkan sesuatu tapi tersendat di tenggorokan.

"Aku serius Nik. Tapi hubungan rahasia kita tetap berjalan seperti biasa. Meskipun Niko sudah jadi suami adikku, bisa aja kita ketemuan secara rahasia."

"Kok aneh...tiba-tiba Mbak mau menjodohkanku dengan adik Mbak? Lalu apa artinya hubungan kita selama ini?"

"Niko....semua ini sudah kupikirkan matang-matang. Perbedaan usia kita terlalu jauh. Aku sering mikir, kalau kita sama-sama berumur panjang, pada saat aku sudah jadi nenek-nenek, sementara kamu sedang-sedangnya membutuhkan wanita yang masih mampu melayanimu...sedangkan aku sudah terlalu tua....aaah...pokoknya hubungan kita jangan dilanjut ke pernikahan, Niko sayang. Tapi itu tidak berarti bahwa kamu tak bisa memiliki tubuhku lagi. Boleh Niko. Kapan pun kamu menginginkannya, aku siap untuk melayani kejantananmu. Tapi please....jangan berpikir untuk meresmikan hubungan kita ke jenjang perkawinan, sayang."

Aku tak bisa berkata-kata lagi. Aku dilanda perasaan sedih yang sulit kuungkapkan. Namun diam-diam aku berpikir dengan penuh prasangka. Bahwa belakangan ini Mbak Rini sering bepergian ke luar kota. Apakah ia mengurus bisnisnya atau bertemu dengan seorang lelaki idamannya?

"Mbak sudah ada janji dengan seseorang kan?" cetusku dengan perasaan cemburu.

"Kamu kayak paranormal aja, Nik," Mbak Rini menepuk lututku, "Tapi...memang benar. Ada seorang duda tua yang ingin menikahiku. Umurnya sudah limapuluhan."

Mendengar ucapan Mbak Rini itu, hampir saja aku keceplosan ngomong, dengan menceritakan perkawinan Mbak Mita yang punya suami sudah tua, lalu menyesalinya setelah perkawinan itu telanjur terjadi. Tapi...nanti malah jadi pertanyaan, kenapa aku bisa tahu seluk-beluk perkawinan Mbak Mita segala?

Karena itu aku diam saja. Berusaha jadi pendengar yang baik.

"Dia sangat lembut dan sangat mengerti keadaanku. Bahkan perusahaannya juga akan diserahkan padaku kalau aku sudah jadi istrinya kelak," kata Mbak Rini lagi.

O, jadi masalah materi yang membuat Mbak Rini tergiur untuk mengikuti ajakan lelaki itu? Tapi biarlah. Aku akan berusaha untuk menganggap semuanya ini memang sudah takdirku. Meski hatiku tidak rela, aku harus bersikap seakan-akan tiada masalah kalau Mbak Rini mau menikah dengan orang lain.

Tiba-tiba MbakRini memelukku sambil berkata dengan suara sendu, "Ayo...sekarang bobo di kamarku aja yok....mumpung kita masih bebas melakukannya..."

Ada kegeraman yang kusembunyikan waktu mengikuti langkah Mbak Rini menuju kamarnya. Tapi sebagai cowok normal, di usia yang masih sangat muda pula, aku langsung tergiur ketika Mbak Rini sudah melepaskan gaun tidurnya, sehingga tinggal celana dalamnya yang masih melekat di tubuhnya. Memang belakangan ini aku tahu bahwa Mbak Rini tak pernah mengenakan bra kalau mau tidur.

"Ayo...kan biasanya kamu yang bukain celana dalamku," kata Mbak Rini sambil berdiri di depanku, "Atau sekarang sudah gak mau lagi?"

Meski pikiranku sedang galau, aku masih punya nafsu melihat Mbak Rini yang seolah sudah menantang kejantananku. Akupun lalu berlutut di dekat kaki Mbak Rini, sambil menarik celana dalamnya tanpa terburu-buru. Sedikit demi sedikit tampak jembut Mbak Rini yang lebat itu...makin lama makin terbuka...dan akhirnya kemaluan Mbak Rini tampak sepenuhn ya di depan mataku...mata yang cuma beberapa sentimeter jaraknya dari kemaluan berjembut lebat itu.

Anehnya saat itu aku ingin membuat Mbak Rini sepuas mungkin menghadapi kejantananku. Aku ingin menggaulinya seganas mungkin, sampai dia keletihan lalu minta ampun. Entahlah, saat itu aku seolah ingin menghabisi Mbak Rini sampai tidak bisa lagi mel;ayani lelaki lain.

Setelah menjilati kemaluan Mbak Rini yang berjembut tebal itu, aku pun mulai melampiaskan nafsuku, membenamkan batang kemaluanku ke dalam liang meqi Mbak Rini yang sudah membasah itu.

"Aaaaah...jangan disekaliin gitu, sayang...sakiit..." keluh Mbak Rini setelah penisku sengaja kuamblaskan sepenuhnya di dalam liang kewanitaan Mbak Rini.

Aku bersikap seperti tuli. Aku cuma peduli pada gerakan batang kemaluanku yang dengan cepat dan garang mengayun seolah memompa liang kewanitaan Mbak Rini. Gerakan batang kemaluanku cukup cepat, seolah berpacu dengan waktu. Sehingga Mbak Rini sering terdengar merintih-rintih, entah kesakitan atau keenakan.

Tapi aku tak peduli apa-apa lagi. Aku hanya ingin memperlihatkan kepada Mbak Rini, bahwa aku ini seorang cowok jantan dan tangguh. Maka kuhajar terus meqi Mbak Rini dengan enjotan penisku, yang anehnya...jadi tangguh sekali !

Sudah lewat sejam aku mengayun batang kemaluanku, tanpa terasa gejala-gejala mau ngecrot. Padahal Mbak Rini sudah beberapa kali menyatakan sudah mencapai orgasme.

ENtahlah, aku seolah berubah menjadi cowok yang garang sekali. Pada waktu meremas payudara Mbak Rini pun berkali-kali mantan guruku itu complain, minta agar remasanku jangan terlalu kuat. Tapi aku hanya menjawab, "Lagi gemes banget, Mbak. Gemesss...."

Setelah semuanya selesai, Mbak Rini menatapku dengan berlinang-linang air mata, "Kenapa tadi lain dari biasanya?" tanyanya sambil memelukku.

"Gak tau Mbak," sahutku lesu, "Mungkin karena hatiku sedang galau aja."

Mbak Rini mewmbelai rambutku. Berkata dengan lembut, "Niko sayang...jangan galau dong. Kan kita tetap bisa ketemuan secara rahasia kapan pun kamu mau."

"Entahlah Mbak...rasanya hatiku sudah telanjur Mbak miliki. Rasanya aku ingin memiliki Mbak seutuhnya."

"Kamu belum lihat aja adikku itu seperti apa. Coba besok malam kamu lihat dan buktikan. Adikku itu cantik, sayang."

"Tapi bukan jalan itu yang kuinginkan Mbak...aaah...sudahlah...mending aku nyari minuman....lalu mabok dan ambruk di tengah jalan..."

"Nikooo....!"