Pasar Induk

By Lucy Friday, June 7, 2019
Seks bukanlah hal baru bagiku, pengalamanku sejak dari bangku sekolah, kuliah dan sampai saat sekarang ini sudah tak terhitung berapa kali aku melakukan hubungan seks. Mulai dengan pacar-pacarku, teman sekolah atau kuliah, hingga mama muda yang kukenal dari jejaring sosial bahkan wanita penjaja seks dari kelas teri hingga menengah pun tak terhitung dengan jari. Apalagi sekarang ini bisnis yang kurintis juga berkembang pesat yang membuat tingkat percaya diriku semakin besar dalam soal seks, selain wajahku yang memang ganteng dan tutur kata yang pintar mengambil hati wanita atau ini memang sudah jalan hidup yang memang harus kulalui, meskipun memang terasa menyenangkan bagiku... hehehe ...

Sebelum kulanjutkan tentang kisahku ini, perkenalkan ... Namaku Kelik, usiaku 24 tahun dan aku bisa dibilang seorang pengusaha muda sukses. Mohon maaf jika aku terlalu berlebihan dalam mendeskripsikan diri, tapi begitulah kenyataannya, apalagi bila dibandingkan dengan sebayaku di kampungku Semanu, sebuah kota kecamatan di bagian timur Kabupaten Gunungkidul D.I.Yogyakarta. Apa yang kuraih sampai dengan saat ini bisa dibilang lebih dari cukup. Selain bisnis jual-beli hewan ternak dan kendaraan bermotor, belum lama ini aku juga menggeluti bidang distribusi hasil bumi yang disuplay dari sorang cukong di daerah Solo dan kudistribusikan di Gunungkidul. Hingga kadang dalam satu minggu aku harus beberapa kali ke pasar induk untuk mengantar pesanan kacang hijau atau kedelai ke beberapa penjual hingga ahkirnya kisah yang akan aku bagi ini pun terjadi.

Sore itu aku menyempatkan diri mampir di warung angkringan tak jauh dari pasar setelah selesai mengantar kedelai, suasana begitu lengang meski biasanya di siang hari tempat ini sangat ramai dengan angkutan pedesaan yang 'nge-tem' menunggu penumpang dan disinilah awal mula kisah ...

"Mas, sudah tidak ada angkutan ya?" Seorang nenek datang mendekat dan bertanya kepada kami, karena disitu ada aku dan bapak penjual angkringan ...

"Sudah gak ada mbah..." si bapak penjual langsung menjawab. (Semua percakapan ini terjadi dengan menggunakan bahasa Jawa, namun karena alasan kebhinekaan maka saya ubah dengan bahasa Indonesia dengan tanpa mengurangi arti sebenarnya,-red).

"lah itu mas?" (si nenek menunjuk ke arah mobil pikapku).

"oh, itu mobilnya mas-nya ini mbah, orang jajan kok, bukan ngetem mbah' jawab si penjual angkringan.

"aduh, saya kemalaman kalau begitu" si nenek bergumam sediri dengan bahasa tubuh yang menunjukkan kebigugan ditambah kecemasan.

"Lah simbah ini rumahnya mana? kok bisa sampai kemalaman memangnya dari mana? (si penjual angkringan kebali bertanya dengan berempati kepada si nenek).

"saya Gedangsari Nglipar mas, tadi saya jual pisang hasil dari halaman di rumah, sekalian lihat keadaan pasar" jawab si nenek.

Gedangsari adalah sebuah nama desa, dan Nglipar adalah sebuah kota kecamatan terletak di sebelah barat daya kabupaten Gunungkidul, sedangkan perlu diketahui aku berasal dari sebuah desa di kecamatan Semanu yang terletak di sebelah timur Gunungkidul.

Sekilas kuperhatikan si Nenek, meskipun sudah tua dan mungkin usianya sudah diatas 60 tahun tapi badannya langsing, bahkan masih lumayan tegap dibalik kebaya dan kain jariknya. (kain jarik atau jarit adalah kain yang biasa digunakan sebagai bawahan wanita Jawa yang biasanya dari kain batik,-red) meskipun kulitnya sudah berkeriput. Entah kenapa aku malah menawarkan diri untuk mengantarkan si nenek. jika dipikir dengan itung-itungan mungkin bisa dibilang konyol. Bagaimana tidak, arah rumah si nenek selain jauh juga bertolak belakang dengan arah rumahku, belum lagi soal waktu, solar dan lain sebagainya. kalau yang kuantarkan seroang anak gadis SMA atau ibu-ibu muda tentu bukan hal yang rugi bagiku. jujur, bukan rasa iba sebenarnya, tapi karena aku memang tidak ada acara lagi dan tidak ingin untuk segera pulang ke rumah. Yah ... siapa tau juga nanti ada rejeki untuk anak soleh, entah si nenek punya anak perawan yang bisa dipacari dan banyak sekali 'mungkin' yang berputar di otakku.

"Mari mbah saya antar ..." aku pun menawarkan diri dan segera membayar gorengan dan wedang jahe kepada bapak penjual angkringan yang melongo keheranan dengan tawaranku pada si nenek.

"Terima kasih ya mas ... bla ... bla ..." Si nenek berkali-kali mengucapkan kata-kata yang sebagian juga aku tak terlalu jelas artinya karnena seperti beliau bergumam sendiri

Kami pun sudah diatas mobil dan meninggalkan bapak penjual angkringan, di perjalanan kuketahui bahwa nama si nenek adalah Mbah Suliyem (aku teruskan ceritaku ini dengan memanggilnya 'mbah' saja karna aku memang tidak biasa dengan istilah 'nenek', dan aku rasa pembaca juga sudah pasti paham,-red). Di perjalanan aku jadi tahu bahwa mbah Suliyem tinggal sendirian, suaminya sudah meninggal sedangkan anak perempuan satu-satunya merantau di Jakarta dan bekerja sebagai seorang PRT, dan masih banyak lagi hingga ahkirnya kami sampai pada percakapan kunci dari semua ini ...

"Mas, terima kasih ya sudah mau antar simbah pulang, sekali lagi simbah berterima kasih pada mas ... tapi simbah cuma punya ini mas ..."

Mbah Suliyem sedikit memalingkan tubuhnya membelakangiku dan kemudian berbalik sambil menyodorkan selembar uang lima ribu rupiah. Aku menelan senyum melihatnya dan seketika itulah kebejatanku muncul, aku segera menepikan kendaraanku yang kebetulan juga saat itu kami sudah berada si kawasan hutan Bunder yang terkenal angker. Entah karena setan penghuni tetap di tubuhku atau ada setan outsorching lewat, aku menarik dompet dan mengambil selembar uang Lima puluh ribuan.

"uangnya disimpan saja mbah, saya ikhlas kok nganterin simbah ... ini malah saya ada uang buat simbah tapi uang ini ada syaratnya... "

"syarat apa mas?" Mbah Suliyem tampak kebingungan meskipun saat itu juga dia menerima uangku.

"simbah boleh ambil uang itu kalau simbah mau kocokin kontolku?"

Aku memang sudah menghitung resiko dengan perbuatanku ini, kalaupun terjadi penolakan, kecil kemungkinannya untuk menjadikan maslah buatku. Selain mbah Suliyem yang sudah tua, beliau juga pasti tidak berpikiran untuk melaporkanku pada pihak yang berwajib ataupun orang lain karena mungkin akan sangat merepotkan dan menjadi aib bagi beliau sendiri. Selain itu frekuensinya datang ke pasar pun tidak berkala, hanya pada saat ada panen pisang di halaman rumahnya yang bisa dijual.

Mbah suliyem tampak kebingungan dan semakin gelisah sambil melihat-lihat keadaan yang sepi di kanan-kiri karena banyak sekali pepohonan besar.

"Mas ini kok aneh-aneh sih, simbah sudah tua dan tempat ini sangat angker mas., ayo kita jalan lagi..."

"jawab dulu mbah, mbah mau kocokin kontolku atau simbah kembalikan uangku dan turun disini, ini sudah lumayan dekat dengan rumah mbah dan saya lebih baik putar balik dan pulang".

Mbah Suliyem tak menjawab dan beberapa saat kami berdua terdiam, keadaan sangat sepi, bahkan aku sendiri pun sebenarnya juga merasa ngeri jika harus berlama-lama disini.

"ayo mas, kita jalan lagi..." mbah Suliyem ahkirnya mengawali pembicaraan kami setelah beberapa saat kami berada dalam keadaan yang sama-sama gelisah. Aku pun memelorotkan celana kolorku sebelum mulai menginjak pedal gas.

"lho mas, mas mau apa, kenapa celananya dipelorotkan disini?"

Kata "Disini" yang diucapkan mbah Suliyem adalah lampu hijau yang dapat aku simpulkan bahwa beliau bersedia, tapi aku khawatir jika mbah suliyem tidak paham dengan perjanjian kami tadi, atau justru berniat untuk ingkar ... hehehe meskipun kulihat beliau sedikit melirik kontolku yang sudah tegak dan besar.

"Terus mau dimana mbah? ya sudah ayo kita jalan..." aku menutup perdebatan dengan tetap kolorku masih di lutut.

"Kita jalan ya mbah" aku menarik tangan mbah Suliyem yang terasa kaku dan berat karena ada penolakan darinya, meski tenagaku lebih kuat pada ahkirnya .... karena jarak yang masih berjauhan, kulepaskan tangannya lalu menyisipkan tangan kiriku ke belakang pinggang kirinya dan menariknya agar lebih dekat denganku. Raut mukanya tampak kaku dan menatap ke kaca depan meski saat kembali kubimbing tangannya agar menggenggam batang kontolku yang seperti pisang ambon ini beliau tidak berontak.

Setelah tangannya sudah mulai akrab dengan kontolku, aku pun kembali memegang stir dan menginjak pedal gas dan melanjutkan perjalanan ke rumah mbah Suliyem.